Senin, 18 Oktober 2010

Kok iso??

Duh kaget aku, barusan konco-ku mba juliana kehilangan hp dan dompetnya hari minggu kemarin 17 oktober 2010 di kebaktian gereja daerah jakarta selatan.
miris, miris banget dengernya, kok bisa ya.. di saat kita ibadah ke Tuhan tapi malah disanalah ada oknum yang memanfaatkan untuk hal yang buruk..

Jaga-jaga deh jadinya kalo pas kebaktian tas ditaruh dibawah kaki aja deh biar aman dan posisi duduknya jangan menyendiri..
duh aku jadi mikirnya kalo orang sedang ibadah tapi pikiran was-was dan timbul rasa curiga diantara jemaat juga ndak enak yo dan gak baik pula...
smoga orang-orang yang jahat tersebut tertangkap dan disadarkan ya, trus petugas atau pelayan gereja lebih optimal dalam melayani jemaatnya.

Minggu, 17 Oktober 2010

Film Aftershock bagus

Hari sabtu kemarin aku ma hubby nonton ni film, Berlatar gempa bumi dahsyat yang menelan korban 240 ribu orang pada bulan july tahun 1976 di Tangsan China, Film Aftershock mengisahkan kisah seorang ibu yang berusaha menyelamatkan dua anaknya dari runtuhan bangunan akibat gempa.

Namun, karena terbatasnya waktu dan sulitnya medan, ia harus memilih salah satu anaknya untuk diselamatkan. Dan dia memilih anak laki-lakinya untuk diselamatkan. setelah aku dapat info ternyata anak laki-laki dalam keluarga chinese lebih di utamakan karena meneruskan marga orangtuanya, mungkin itu alasan ibunya..

Nah ternyata anak perempuannya masih hidup setelah dianggap meninggal, dan dia sangat kecewa dengan pilihan ibunya dengan tidak menyelamatkannya. Sebenarnya ni anak diadopsi oleh pasangan suami istri yang sangat baik dan sayang padanya. Intinya setelah 32th kemudian baru ni anak bisa bertemu dengan adek dan ibunya. rasa kecewa pada ibunya sirna sudah, setelah dia mengetahui ibunya selalu mendoakan dan membelikan barang-barang yang sama dengan kebutuhan adeknya,seakan-akan dia masih ada ato belum meninggal. pokoknya kasih ibu sepanjang masa dech..

Wahhh film ini sangat layak ditonton dan sangat bagus. Trus siapkan tissue juga ya, bakalan nangis bombai soalnya he..he..

Senin, 11 Oktober 2010

Mengapa pernikahan menjadi tidak bahagia

Ini cerita dari milis tetangga, Bahan renungan utk memperkaya hidup kita.

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah. Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci dirumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikiktpun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu
menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang
ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran. Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan,dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?

Pengorbanan yang dianggap benar. Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan,& secara
perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan
sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!

Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separohlantai lagi yang belum dipel? Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat
tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.

Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.

Yang kamu inginkan ? Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat
akan ayah saya. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.

Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.

Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkahke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia. Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ? Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.

Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu..dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.

Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar
membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari
ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing2 bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.

Jalan kebahagiaan. Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya
di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat. Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup
sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.

Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan. Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan
dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa
menghibur gejolak hati masing-masing.

Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam. Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan,
kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalamperkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.

Peace & Gbu

dr milis tetangga (botefilia.com)